Tinggalkanlah Segala Kebimbanganmu (Hadits edisi 1)

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari)

Rasul n yang mulia bersabda:

دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ، فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيْبَةٌ

“Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah ketenangan di hati sedangkan kedustaan itu adalah keraguan.”



Hadits ini merupakan pokok dalam hal meninggalkan syubhat serta peringatan dari berbagai jenis keharaman1. Al-Munawi t berkata, “Hadits ini merupakan salah satu kaidah agama dan inti dari sifat wara’, yang wara’ ini merupakan poros keyakinan serta menenangkan dari gelapnya keraguan dan kecemasan yang mencegah cahaya keyakinan.”
Al-Askari t menyatakan, “Jika orang-orang pandai merenungkan dan memahami hadits ini, niscaya mereka akan yakin bahwasanya hadits ini telah mencakup seluruh apa yang dikatakan tentang menjauhi perkara syubhat.” (Faidhul Qadir, 3/529)
Hadits yang mulia ini diriwayatkan oleh cucu kesayangan dan permata hati Rasulullah n, Abu Muhammad al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib c, ketika seseorang yang bernama Abul Haura’ as-Sa’di bertanya kepadanya tentang apa yang dihafalnya dari hadits kakeknya yang mulia n.
Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya, juga at-Tirmidzi, an-Nasa’i rahimahumullah dalam Sunan-nya2 mengeluarkan hadits ini dari jalan Syu’bah dari Buraid bin Abi Maryam dari Abul Haura’ dari al-Hasan bin Ali c. Dan hadits ini termasuk sekian hadits yang dilazimkan/diharuskan oleh al-Imam ad-Daraquthni t terhadap al-Imam al-Bukhari t dan Muslim t agar mengeluarkannya dalam Shahih keduanya3.
Hadits ini sahih, disahihkan oleh para imam ahli hadits, termasuk di antaranya asy-Syaikh Muqbil t dalam kitabnya ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish-Shahihain (1/222—224).
Sementara perkataan Jauzajani bahwasanya Abul Haura’ majhul, tidak diketahui keadaannya atau tidak dikenal sebagaimana dinukilkan oleh al-Imam Ibnu Rajab t dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (1/278), tidaklah benar. Karena Abul Haura’ yang namanya Rabi’ah ibnu Syaiban as-Sa’di di-tsiqah-kan oleh al-Imam an-Nasa’i t.
Al-’Ijli t berkata, “Rabi’ah (Abul Haura’) adalah seorang tabi’in lagi tsiqah (tepercaya).”
Al-Hafizh t berkata, “Rabi’ah adalah tsiqah.” (Tahdzibul Kamal, 9/117, Tahdzibut Tahdzib, 3/221, at-Taqrib, hlm. 147)
Lafadz يَرِيْبُكَ dalam hadits ini dengan mem-fathah huruf ya yang pertama, bisa pula dengan men-dhammah-nya. Namun yang masyhur dan fasih dengan mem-fathah-nya. (Tuhfatul Ahwadzi, 7/187)
Al-Imam at-Tirmidzi t berkata, “Hadits di atas memiliki kisah.” (Sunan at-Tirmidzi, 4/77)
Kisah yang dimaksud oleh al-Imam at-Tirmidzi di sini dibawakan oleh al-Imam Ahmad t dalam Musnad-nya (1/201). Al-Hasan bin Ali c menceritakan kepada Abul Haura’ bahwa ketika masih kecil ia pernah mengambil sebutir kurma dari kurma sedekah lalu memakannya. Melihat hal tersebut, kakek beliau yakni Rasulullah n, segera mengeluarkan kurma itu dari mulut al-Hasan dan membuangnya. Lalu seseorang bertanya kepada Rasulullah n, “Apa masalahnya, wahai Rasulullah, bila anak kecil ini memakan kurma tersebut?” Rasulullah n menjawab,
إِنَّا آلُ مُحَمَّدٍ لاَ تَحِلُّ لَنَا الصَّدَقَةُ
“Sesungguhnya kami keluarga Muhammad tidaklah halal memakan harta sedekah.”
Rasulullah n juga bersabda:
“Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah ketenangan di hati sedangkan kedustaan itu adalah keraguan.”
Kandungan Hadits
Hadits ini bila ditinjau secara makna hampir sama dengan makna hadits an-Nu‘man ibnu Basyir z:
مَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ
“Siapa yang berhati-hati/menjaga dirinya dari syubhat (perkara yang samar) maka sungguh ia telah menjaga agama dan kehormatannya, dan siapa yang jatuh ke dalam syubhat berarti ia jatuh dalam keharaman.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 52, no. 2051 dan Muslim no. 1599) [Dari kaset Durus al-Arba‘in an-Nawawiyyah oleh asy-Syaikh Shalih Alusy Syaikh]
Rasulullah n dalam hadits yang mulia ini memerintahkan kepada kita untuk menjauhi perkara yang meragukan, baik berupa ucapan maupun amalan, dilarang maupun tidak. Kita disuruh mengambil perkara yang meyakinkan.
Dengan demikian, ketika dihadapkan dengan syubhat, sebagai suatu perkara yang meragukan karena tidak diketahui halal dan haramnya/samar keadaannya, sepantasnya kita berhenti dalam hal ini, menjaga diri kita agar tidak terjatuh ke dalamnya dan serta-merta meninggalkannya. Sesuatu yang telah jelas halalnya, kita tahu, tidak akan membuat keraguan, kebimbangan, kegoncangan, dan kegelisahan di hati orang yang beriman. Bahkan, jiwa dengan tenang akan menjalaninya. Sebaliknya perkara yang syubhat, apabila diamalkan atau dijalani akan menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan di hati seseorang. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/280, Tuhfatul Ahwadzi, 7/187, Sunan an-Nasa’i bi Hasyiyah as-Sindi, 8/328)
Al-Qadhi t berkata, “Dalam kejujuran itu ada keberhasilan (kesuksesan) dan keselamatan, sekalipun manusia terkadang memandang di situ ada kebinasaan. Maka bila engkau mendapatkan dirimu dalam keadaan ragu terhadap sesuatu, tinggalkanlah perkara tersebut. Karena jiwa seorang mukmin yang sempurna keimanannya merasa tenang dengan kejujuran yang bisa menyelamatkan dirinya dari kebinasaan serta akan merasa ragu dengan kedustaan. Keraguanmu terhadap sesuatu merupakan perkara yang dikhawatirkan keharamannya, maka berhati-hatilah engkau dari perkara tersebut. Sedangkan ketenanganmu terhadap sesuatu merupakan tanda benarnya hal tersebut, maka ambillah.” (Faidhul Qadir, 3/528)
Sebagai permisalan, apabila seseorang ragu terhadap suatu masalah, apakah hal itu halal atau haram, hendaknya ia tinggalkan keraguan itu kepada apa yang diyakini, kepada apa yang halal yang ia yakini atau apa yang tidak ia ragukan. Yang demikian ini berarti ia telah menjaga agamanya. (Kaset Durus al-Arba’in, asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh t)
Demikian pula dalam perkara ibadah. Ia kerjakan yang ia yakini. Apabila muncul keraguan secara tiba-tiba maka keraguan tersebut tidak bisa menghilangkan keyakinan yang telah ada. Sebagai permisalan apabila ia ragu dalam shalatnya, apakah ia telah berhadats atau tidak, apakah keluar angin dari duburnya atau tidak, maka ia tetapkan keadaannya sebagaimana yang ia yakini (ia shalat dalam keadaan berwudhu) dan ia membuang keraguan yang muncul belakangan. (Kaset Durus al-Arba’in oleh asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t, kaset Durus al-Arba’in oleh asy-Syaikh Shalih Alusy Syaikh)
Kaidah yang digunakan di sini menurut ulama ahli ushul, “Sesuatu yang yakin tidak bisa dikalahkan oleh sesuatu yang ragu.”
Ath-Thibi t menyatakan, “Namun tentunya yang dapat merasakan dan menimbang hal yang demikian ini hanyalah orang-orang yang memiliki jiwa yang bersih dari noda-noda dosa dan aib.” (Faidhul Qadir, 3/529)
Bila seorang muslim mewujudkan apa yang dituntunkan Rasulullah n dalam hadits di atas, ia akan dapat menjaga kehormatannya dari celaan dan menjaga dirinya agar tidak jatuh ke dalam keharaman. Karena beliau n telah bersabda:
مَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ
“Siapa yang berhati-hati/menjaga dirinya dari syubhat (perkara yang samar) maka sungguh ia telah menjaga agama dan kehormatannya.”
Perbuatan yang demikian ini akan mengantarkan kepada sikap wara’.

Wara’
Wara’ adalah sikap meninggalkan perkara yang syubhat (samar atau tidak jelas halal haramnya) karena khawatir terjatuh ke dalam perkara yang diharamkan. (at-Ta‘rifat, al-Jurjani, 1/325, Subulus Salam, 2/261)
Abu Abdirrahman al-’Umari az-Zahid t berkata, “Apabila seorang hamba memiliki sifat wara’ niscaya dia akan meninggalkan perkara yang meragukannya menuju kepada perkara yang tidak meragukannya.” (Jami’ul ‘Ulum, 1/281)
Sementara Hassan bin Abi Sinan t mengatakan, “Tidak ada sesuatu yang lebih ringan/mudah daripada sikap wara’. Apabila ada sesuatu yang meragukanmu maka tinggalkanlah.” (Jami’ul Ulum,1/281)
Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah al-Maqdisi t di dalam Mukhtashar Minhajil Qashidin (hlm. 88) berkata, “Wara’ itu memiliki empat tingkatan:
1.    Berpaling dari setiap perkara yang dinyatakan keharamannya.
2.    Wara’ dari setiap perkara syubhat yang sebenarnya tidak diwajibkan untuk dijauhi, namun disenangi baginya untuk meninggalkannya. Dalam perkara ini Rasulullah n bersabda, “Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu.”
3.    Wara’ dari sebagian perkara yang halal karena khawatir jatuh kepada perkara yang haram.
4.    Wara’ dari setiap perkara yang tidak ditegakkan karena Allah l, dan ini adalah wara’ para shiddiqin (orang-orang yang tinggi imannya).”
Sikap wara’ secara mendetail hanya dapat direalisasikan oleh orang yang istiqamah jiwanya (dalam mengerjakan kewajiban dan meninggalkan perkara yang dilarang), seimbang amalannya dalam takwa dan wara’.
Adapun orang yang secara lahir suka berbuat keharaman, kemudian ia ingin bersikap wara’ dalam berbagai syubhat yang rinci maupun tersamar, maka hal ini tidak akan mungkin baginya. Bahkan sikapnya ini diingkari (sekadar omong kosong). Karena itulah, Ibnu ‘Umar c mengingkari orang-orang dari penduduk Irak yang bertanya kepadanya tentang hukum darah nyamuk. Beliau berkata, “Mereka bertanya kepadaku tentang darah nyamuk, sementara mereka telah menumpahkan darah al-Husain z. Padahal aku telah mendengar Rasulullah n bersabda:
هُمَا رَيْحَانَتَايَ مِنَ الدُّنْيَا
“Keduanya (al-Hasan dan al-Husain) adalah kembangku yang semerbak dari penduduk dunia.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 3753) [Jami‘ul ‘Ulum,1/283]

Contoh Sikap Wara’
Jika membaca perjalanan hidup pendahulu kita yang saleh, kita dapati mereka adalah orang-orang yang menyandang seluruh akhlak Islam yang mulia, baik akhlak yang wajib maupun yang sunnah. Betapa kalam (ucapan) Allah l dan Rasul-Nya  n (Al-Qur’an dan As-Sunnah) menancap di hati-hati mereka dan mengakar di sanubari mereka.
Tidak cukup dengan itu, kita dapati juga mereka adalah orang yang bersemangat dalam mengamalkan apa yang datang dari Allah l dan Rasul-Nya n dalam kehidupan mereka sehari-hari. Salah satu akhlak yang bisa kita lihat dari amalan mereka adalah wara’. Kisah wara’ mereka di antaranya:
1.    ‘Aisyah x mengabarkan bahwa Abu Bakr z pernah mencicipi makanan yang diberikan oleh budaknya. Maka budak tadi berkata kepadanya, “Apakah engkau tahu darimana aku dapatkan makanan ini?”
Abu Bakr z bertanya, “Darimana engkau mendapatkannya?”
Budaknya menjawab, “Dulu di masa jahiliah aku pernah meramal untuk seseorang. Sebenarnya aku tidak pandai meramal, namun aku cuma menipunya. Lalu orang itu menemuiku dan memberiku upah atas ramalanku. Inilah hasilnya, apa yang engkau makan sekarang.”
Mendengar hal tersebut, Abu Bakr z segera memasukkan tangannya ke dalam mulutnya untuk memuntahkan makanan yang telanjur masuk ke dalam kerongkongannya. Kemudian ia memuntahkan semua makanan itu. (Sahih, HR. al-Bukhari no. 3842)
2.    Nafi‘ berkata, ‘Umar Ibnul Khaththab z menetapkan subsidi rutin bagi para sahabat dari kalangan Muhajirin yang awal berhijrah sebanyak 4.000, sementara putranya ia tetapkan sebesar 3.500.
Kemudian ada yang berkata kepada ‘Umar, “Bukankah Ibnu ‘Umar termasuk dari kalangan Muhajirin, mengapa engkau mengurangi subsidinya?”
Umar menjawab, “Ayahnya-lah yang membawanya berhijrah. Dia tidak sama dengan orang yang berhijrah sendiri (yang tidak dibawa oleh orang tuanya).” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 3912)
3.    Yazid bin Zurayi’ t mewarisi harta ayahnya sebesar 500 ribu namun ia tidak mengambilnya. Ayahnya bekerja untuk para sultan, sedangkan Yazid bekerja membuat keranjang dari daun kurma. Penghasilan itulah yang digunakannya untuk makan sehari-hari sampai beliau t meninggal dunia. (al-Wara’, al-Imam Ahmad bin Hanbal t, hlm. 7)
Masih banyak lagi kisah-kisah wara’ mereka yang bisa dilihat pada perjalanan hidup mereka di kitab-kitab biografi para ulama.

Faedah Hadits
1.    Termasuk sikap wara’ bila seseorang berhati-hati dan menjauhi perkara syubhat.
2.    Perkara yang halal akan menenangkan hati dan tidak menggelisahkannya.
3.    Sementara perkara yang syubhat membekaskan keraguan di hati dan akan menggelisahkannya. Demikian pula perkara dosa.
4.    Dengan menjauhi syubhat, seseorang dapat menjaga agama dan kehormatannya.
5.    Sangat menjaga diri dari perkara syubhat hanya pantas dilakukan oleh orang yang lurus jiwanya dan bertakwa serta memiliki sifat wara’. Adapun orang yang biasa terjun dalam lumpur dosa dan maksiat kemudian dia ingin bersikap wara‘ dalam menghadapi syubhat maka ini diibaratkan wara’ yang hambar, tanpa makna.
6.    Ketika berhadapan dengan sesuatu yang samar, tidak jelas halal atau haramnya maka hal tersebut dapat ditimbang dengan hati. Kemudian apa yang menenangkan hati dan melapangkan dada berarti itu adalah kebaikan dan halal. Bila sebaliknya, tidak menenangkan di hati maka dikhawatirkan hal itu sebagai tanda keharaman dan dosa. Namun perlu diperhatikan di sini, sebelum hati itu memutuskan sesuatu, hendaknya tidak ada kecondongan sebelumnya kepada perkara tersebut, atau tidak ada hawa nafsu yang memengaruhinya.
7.    Hadits ini merupakan satu kaidah agama yang agung, “Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan.”
8.    Rasulullah n diberikan jawami’ul kalim (perkataan ringkas namun padat cakupan maknanya), sebagaimana yang dikandung dalam hadits ini.
Wallahu a‘lam bish-shawab.

1 Dari kaset Durus (pelajaran) al-Arba'in an-Nawawiyyah yang disampaikan oleh asy-Syaikh Shalih bin Abdil 'Aziz Alus Syaikh t.
2 Al-Imam Ahmad t dalam Musnad-nya (1/201), an-Nasa'i t dalam Sunan-nya (no. 5615), at-Tirmidzi t dalam Sunan-nya no. 2637, dan ia mensahihkannya.
3 Al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkan hadits ini dalam Shahih keduanya, sekalipun hadits ini shahih. Karena memang tidak semua hadits sahih tercantum dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Sebagaimana perkataan Al-Imam al-Bukhari t, "Tidaklah aku masukkan dalam kitab al-Jami' ini (yang beliau maksudkan adalah kitab beliau Shahih al-Bukhari) kecuali apa yang sahih dan aku tinggalkan banyak hadits yang sahih karena khawatir terlalu panjang." (Mukaddimah al-Kamil, 1/140)
Al-Imam Muslim t berkata, "Tidaklah semua hadits yang sahih di sisiku aku cantumkan dalam kitabku ini. Hanyalah yang aku cantumkan di sini apa yang mereka sepakati." (Shahih Muslim, no. 404)

SUMBER: http://asysyariah.com/ diposting ulang oleh http://thuwalibah.blogspot.com/

0 komentar:

Posting Komentar

Blogroll

About Me

Foto Saya
Thuwalibah
Hanya seorang akhwat faqiir, yang membutuhkan banyak Ilmu, membutuhkan banyak Nasihat, membutuhkan banyak Bimbingan, dan membutuhkan banyak Belajar.. Hanya seorang muslimah yang berharap ampunan dari Robb-Nya, berharap ridha-Nya, berharap cinta-Nya, dan berharap selalu mendapat petunjuk-Nya. Seorang muslimah yang memohon pada Rabbul Izzati, "Wahai Dzat yang membolak-balikan hati, tetapkanlah hatiku diatas agama-Mu" Melalui blog ini, seorang muslimah mencoba berbagi dengan harapan dapat sedikit ikut membantu menyebarkan Dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Lihat profil lengkapku

Followers

Blog Archive

Widget-1 title


ShoutMix chat widget

Widget-3 title

Asy-Syaikh Al Fauzan hafizhahullooh ketika menjawab pertanyaan, apakah ada perbedaan antara aqidah & manhaj? Manhaj lebih penting daripada aqidah, karena manhaj mencakup aqidah, perilaku, akhlaq, muammalah dan semua sisi kehidupan seorang muslim. Setiap saat yang seorang muslim berjalan di atasnya dinamakan manhaj. Ada pun aqidah maka yg dimaksud adalah dasar iman, makna syahadatain dan semua konsekwensinya, ini lah yg dimaksud dengan aqidah. (Al Ajwibah Al Mufidah hal. 123)

Recent Posts