Kejujuran Seorang Muslim, Jujur Bersama Allah Subhanahu wata’ala

 sky - سماء
Oleh Al Ustadz Abu Karimah Asykari

Hendaklah kita senantiasa bersikap jujur. Jujur terhadap diri kita, jujur pada ucapan kita, jujur pada perbuatan-perbuatan dan amalan kita, jujur bersama Allah Subhanahu wata’ala. Padahal kita beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala maka hendaklah apa yang zhahir sama dengan yang bathin. Tujuan kita hanya untuk
Allah Subhanahu wata’ala dalam beribadah.

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah Subhanahu wata’ala dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." (Al Bayyinah: 5)

Oleh karena itu
Allah Subhanahu wata’ala menyebutkan di dalam salah satu ayat-Nya, di mana Allah Subhanahu wata’ala menggandengkan antara kedua perkara ini: Perintah bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala dan perintah untuk senantiasa bersama dengan orang-orang yang selalu bersikap jujur. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar." (At Taubah: 115)

Apa yang dia ucapkan sama dengan apa yang ada dalam hatinya. Apa yang dia perbuat sesuai dengan apa yang terdapat dalam dirinya. Inilah hakikat dari keimanan tersebut sebagaimana yang kita ketahui dari definisi iman yang telah menjadi kesepakatan Ahlus Sunnah wal Jamaah bahwa iman itu adalah mengucapkan dengan lisan, lalu meyakini dalam hati, dan mengamalkan dengan perbuatan.

Ketiga perkara ini: hati, lisan, dan perbuatan hendaklah disesuaikan. Jika apa yang diucapkan tidak sesuai dengan apa yang tidak terdapat pada dirinya maka dia tidak menjadi seorang mukmin secara hakikat sebagimana orang-orang munafiq. Secara zhahir orang-orang munafiq menampakkan keimanan akan tetapi dalam hatinya mengingkari apa yang dipersaksikan secara lisan. Allah Subhanahu wata’ala telah mendustakan apa yang diucapkan orang-orang munafiq dalam firman-Nya,

إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ

"Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta." (Al Munafiq: 1)

Kenapa demikian? karena tidak sesuai antara lisan dengan apa yang terdapat di dalam hati mereka, maka Allah Ta’ala dustakan.

Demikian pula sebaliknya jika di dalam hatinya dia meyakini akan tetapi secara lisan dia mendustakan, ini pun tidak bermanfaat apa yang dia yakini dalam hatinya sampai dia mengatakan dengan lisannya, sampai apa yang ia saksikan sesuai dengan amalan perbuatannya. oleh karena itu Allah Subhanahu wata’ala tidak menganggap keimanan Fir’aun pada saat ahirnya ia mengaku tentang Laa ilaaha illallah.

وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ

"Dan mereka mengingkarinya karena kelaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan." (An Naml: 14)

Maka tidak bermanfaat apa yang mereka yakini apabila secara lisan mereka tidak mempersaksikan hal tersebut.

Oleh karena itu, kejujuran sangat dibutuhkan oleh setiap Muslim. Jujur bersama Allah Subhanahu wata’ala dalam beribadah kepada-Nya, dalam beramal, dalam berucap sama dengan apa yang terdapat dalam dirinya.

Demikian pula bersama dengan manusia senantiasa bersikap jujur, senantiasa membiasakan untuk selalu berkata dengan kejujuran. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ

"Tetapi jika mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka." (Muhammad: 21)

Jauhi sifat riya’, jauhi sesuatu yang zhahir menyelisihi yang bathin. Akan tetapi hendaklah kita senantasa bersikap apa yang ada pada zhahir kita itulah yang terdapat dalam bathin kita. Jujur bersama Allah Subhanahu wata’ala.

Ketahuilah, apabila seseorang senantiasa jujur dalam dirinya bahwa pada saat beramal dia peruntukkan hanya untuk Allah Subhanahu wata’ala maka Allah Subhanahu wata’ala tidak akan menyia-nyiakan kejujuran seorang Muslim pada saat dia beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala.

Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

عن أبى ثابت، وقيل أبى سعيد، وقيل أبى الوليدسهل بن حنيف وهوبدرىّ رضى اللّه عنه : أنّ النّبىّ قال : من سأل اللّه تعالى الشّهادةبصدق بلّغه اللّه منازل اشّهداء، وإن مات على فراشه (رواه المسلم)٠

Dari Abu Tsabit, (Abu Sa’id atau Abul Walid Sahl bin Hunaif) Radhiallahu’anhu, ia adalah orang yang ikut perang Badar. Bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: "Siapa saja yang benar-benar mohon untuk mati syahid kepada Allah Ta’ala niscaya Allah akan mengabulkan ke tingkat orang yang mati syahid walaupun ia mati di atas tempat tidur." (HR. Muslim)

Walaupun dia meninggal di atas ranjangnya tidak seperti para syuhada yang meninggal di ma’roqah dalam pertempuran. Seorang hamba yang meminta kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan kejujurannya!

سأل اللّه تعالى الشّهادةبصدق

Benar-benar mohon untuk mati syahid. Dibutuhkan kejujuran pada diri kita, itulah yang akan mendatangkan keselamatan.

Demikian pula bersama manusia. Dan ketahuilah, tidaklah seseorang membiasakan dusta melainkan kedustaannya itu akan tersingkap cepat atau lambat. Benar apa yang dikatakan oleh Ka’ab bin Malik Radhiallahu’anhu. Tatkala beliau telah mendapatkan hukuman dari Allah Subhanahu wata’ala di mana Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam telah menetapkan hukuman terhadap Ka’ab bin Malik bersama dengan dua orang temannya yang tertinggal dan tidak mengikuti perang Tabuk sementara nabi Shallallahu’alaihi wasallam memerintahkan dengan perintah keluar untuk berjihad secara keseluruhan bagi mereka yang tidak memiliki udzur. Ketika sahabat ini yaitu Ka’ab bin Malik, Murarah bin Rabi’ah al-’Amiri, dan Hilal bin Umayyah al-Waqifi tidak mengikuti perang Tabuk dan mereka sangat menyesali perbuatan mereka itu. Singkat cerita ketika nabi Shallallahu’alaihi wasallam pulang dari perang Tabuk bersama para Shahabat lalu kemudian mendatangi masjid setelah sholat dua rokaat mulailah berdatangan orang-orang munafiq yang mereka meminta udzur kepada nabi kenapa mereka tidak berangkat berperang, masing-masing membawa udzur dan mereka dusta dalam udzurnya. Namun nabi Shallallahu’alaihi wasallam biarkan dan diistighfarkan. Akan tetapi ketika Ka’ab bin Malik datang dengan kejujurannya dia mengakui kesalahannya sampai mendapatkan hukuman di hajr (dijauhi oleh kaum Muslimin), salamnya tidak dibalas, tidak boleh kaum muslimin menyalami dia, bahkan pada 10 hari terakhir sebelum hukumannya diselesaikan oleh Allah Subhanahu wata’ala, istrinya pun diperintahkan untuk menjauhi suaminya yang dihajr. Demikian beratnya, tapi mereka dengan kejujurannya mengakui bahwa mereka telah bersalah dan mereka hendak bertaubat kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan kejujurannya. Padahal kata Ka’ab bin Malik, "kalau saya mencari alasan di hadapan rasul Shallallahu’alaihi wasallam sangat mudah, saya orang yang mampu berjidal (berdebat), saya orang yang mampu berbicara, saya orang yang mampu memberikan alasan". Akan tetapi beliau tidak menginginkan hal tersebut, dan beliau bertekad untuk berkata dengan kejujurannya di hadapan nabi Shallallahu’alaihi wasallam ternyata mendapatkan hukuman. Sementara orang-orang munafiq yang datang kepada nabi Shallallahu’alaihi wasallam membawa udzur tidak diberi hukuman sama sekali. Setelah 50 hari 50 malam turunlah firman Allah Subhanahu wata’ala yang menyatakan bahwa Allah Subhanahu wata’ala telah menerima taubat-taubat mereka. Pada saat itu yakinlah Ka’ab bin Malik dan keluarlah perkataan yang indah dari Ka’ab bin malik, "kejujuran itu adalah keselamatan". [1]

Walaupun mungkin pada awalnya terasa pahit untuk diucapkan akan tetapi jika kita jujur bersama Allah Subhanahu wata’ala maka itu pasti akan mendapatkan keselamatan. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu’anhu, kata nabi Shallallahu’alaihi wasallam,

عن ابن مسعودرضى اللّه عنه عن النّبىّ قال : إنّ الصّدق يهدى إلى البرّ، وانّ البرّيهدى إلى الجنّة، وإنّ الرّجل ليصدق حتى يكتب عنداللّه صدّيما، وإنّ الكذب يهدى إلى الفجور، وإنّ الفجوريهدى إلى النّار، وإنّ الرّجل ليكذب حتّى يكتب عنداللّه كذّابا (متفق عليه)٠

Dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu’alaihi wasallam, beliau bersabda: "Sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga. Seseorang akan selalu bertindak jujur sehingga ia di tulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada kejahatan dan kejahatan itu membawa ke neraka. Seseorang akan selalu berdusta sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai pendusta." (HR. Bukhari dan Muslim)

Karena sesungguhnya dengan kejujuran itu akan mengantar seseorang kepada kebaikan. Jujur adalah kebaikan. Dengan kebaikan itu mengantarkan seseorang untuk mengadakan kebaikan-kebaikan berupa ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala. Balasan dari kebaikan adalah amalan kebaikan setelahnya. Oleh karena itu Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ مَرَدًّا

"Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. Dan amal-amal saleh yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik kesudahannya." (Maryam: 176)

Padahal mereka orang-orang yang sudah mendapatkan hidayah. Dengan hidayah yang mereka dapatkan ditambh lagi hidayahnya oleh Allah Subhanahu wata’ala.

وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوا إِيمَانًا

"dan supaya orang yang beriman bertambah imannya " (Al Muddatstsir: 31)

Mereka adalah orang-orang beriman, bertambah lagi keimanannya. Balasan kebaikan adalah kebaikan setelahnya atau ketaatan setelahnya.

Orang yang senantiasa mendapatkan kenikmatan di antara rang-orang yang diberi kenikmatan oleh Allah Subhanahu wata’ala adalah sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

"Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin (orang yang jujur), orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." (An Nisa: 69)

Sebaliknya, kata Ibnul Qayyim: Di antara hukuman terhadap orang-orang yang melakukan kemaksiatan maka dia akan melakukan kemaksiatan yang berikutnya. Firman Allah Ta’ala,

فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

"Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik." (Ash Shaff: 3)

Pada saat mereka menyimpang, mereka sudah menyimpang karena dosa-dosa mereka maka Allah Ta’ala simpangkan lagi mereka. Sangat mengerikan, jangan menganggap remeh satu perbuatan kemaksiatan karena hasilnya akan memunculkan kemaksiatan berikutnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

"Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali." (An Nisa: 115)

Semakin disimpangkan lagi semakin dijauhkan lagi oleh Allah Subhanahu wata’ala dari kebenaran tapi akibatnya neraka Jahannam, wal ‘iyadzubillah, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.

Maka inilah kejujuran itu akan mendatangkan keberhasilan. Yang zhahir dari apa yang kita amalkan dan ucapkan sama dengan apa yang terdapat dalam hati kita. Bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala, jujur terhadap diri sendiri, jujur kepada Allah Subhanahu wata’ala, jujur bersama dengan makhluk-Nya.

Wallahu a’lam

[Sumber: Transkrip MP3 kajian berjudul "Kejujuran Seorang Muslim, Jujur Bersama Allah Subhanahu wata'ala" Oleh Al Ustadz Abu Karimah Asykari]

__________
Footnote
[1]. Dari Abdullah bin Ka’ab bin Malik dan ia -yakni Abdullah- adalah pembimbing Ka’ab Radhiallahu’anhu dari anak-anaknya ketika Ka’ab -yakni ayahnya itu- sudah buta matanya, katanya: "Saya mendengar Ka’ab bin Malik Radhiallahu’anhu menceritakan perihal kisahnya sendiri ketika tidak mengikuti Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dalam peperangan Tabuk."

Ka’ab berkata: "Saya tidak pernah membelakang (tidak mengikuti) Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dalam suatu peperangan pun kecuali dalam peperangan Tabuk. Sebenarnya saya juga pernah tidak mengikuti dalam peperangan Badar, tetapi beliau Shallallahu’alaihi wasallam tidak mencela seorangpun yang tidak mengikutinya. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam keluar bersama kaum Muslimin menghendaki kafilahnya kaum Quraisy, sehingga Allah Ta’ala mengumpulkan antara mereka itu dengan musuhnya dalam waktu yang tidak tertentukan. Saya juga ikut menyaksikan bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam di malam ‘aqabah di waktu kami berjanji saling memperkukuhkan Islam. Saya tidak menyukai andaikata tidak mengikuti malam ‘aqabah itu sekalipun jika saya ikut menyaksikan peperangan Badar dan sekalipun pula bahwa peperangan Badar itu lebih termasyhur sebutannya di kalangan para manusia daripada malam ‘aqabah tadi.

Adapun kisah ketika saya tidak mengikuti Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dalam peperangan Tabuk ialah: bahwa saya sama-sekali tidak lebih kuat dan tidak pula lebih ringan dalam perasaanku sewaktu saya tidak mengikuti peperangan tersebut. Demi Allah saya belum pernah mengumpulkan dua buah kendaraan sebelum adanya peperangan Tabuk itu, sedang untuk peperangan ini saya dapat mengumpulkan keduanya. Tidak pula Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam itu menghendaki suatu peperangan, melainkan tentu beliau berniat pula dengan peperangan yang berikutnya sehingga sampai terjadinya peperangan Tabuk. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam berangkat dalam peperangan Tabuk itu dalam keadaan panas yang sangat dan menghadapi suatu perjalanan yang jauh lagi harus menempuh daerah yang sukar memperolehi air dan tentulah pula akan menghadapi musuh yang jumlahnya amat besar sekali. Beliau Shallallahu’alaihi wasallam kemudian mengutarakan maksudnya itu kepada seluruh kaum Muslimin dan menjelaskan persoalan mereka, supaya mereka dapat bersiap untuk menyediakan perbekalan peperangan mereka. Beliau Shallallahu’alaihi wasallam memberitahukan pada mereka dengan tujuan yang dikehendaki. Kaum Muslimin yang menyertai Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam banyak sekali, tetapi mereka itu tidak terdaftarkan dalam sebuah buku yang terjaga. Yang dimaksud oleh Ka’ab ialah adanya buku catatan yang berisi daftar mereka.

Ka’ab berkata: Maka sedikit sekali orang yang ingin untuk tidak menyertai peperangan tadi, melainkan ia juga mengira bahwa dirinya tidak akan ketahuan, selama tidak ada wahyu yang turun dari Allah Ta’ala. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam berangkat dalam peperangan Tabuk itu di kala buah-buahan sedang enak-enaknya dan naungan-naungan di bawahnya sedang nyaman-nyamannya. Saya amat senang sekali pada buah-buahan serta naungan itu. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersiap-siap dan seluruh kaum Muslimin juga demikian. Saya mulai pergi untuk ikut bersiap-siap pula dengan beliau, tetapi saya lalu mundur lagi dan tidak ada sesuatu urusan pun yang saya selesaikan, hanya dalam hati saya berkata bahwa saya dapat sewaktu-waktu berangkat jikalau saya menginginkan. Hal yang demikian itu selalu saja mengulur-ulurkan waktu persiapanku, ketika orang-orang bergegas untuk mengadakan perbekalan mereka, sedangkan saya sendiri belum ada persiapan sedikitpun. Kemudian saya pergi lagi lalu kembali lagi dan tidak pula ada sesuatu urusan yang dapat saya selesaikan. Keadaan demikian ini terus-menerus menyebabkan saya mengulur-ulurkan waktu keberangkatanku, hingga semua orang telah bergegas-gegas dan majulah mereka yang hendak mengikuti peperangan itu. Saya bermaksud akan menyusul tentu dapat mengejar mereka yang berangkat terlebih dulu. Alangkah baiknya sekiranya maksud itu saya laksanakan, namun tidak ditakdirkan untuk dapat saya kerjakan. Dengan demikian setiap saya keluar bertemu dengan orang-orang setelah keberangkatan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, keadaan sekelilingku itu selalu menyedihkan hatiku, karena saya mengetahui bahwa diriku dituduh sebagai munafiq atau seseorang yang dianggap beruzur oleh Allah Ta’ala karena termasuk golongan kaum yang lemah.

Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam lupa akan diriku sampai beliau datang di Tabuk, sewaktu beliau duduk di kalangan kaumnya di Tabuk, tiba-tiba bertanya: "Apa yang dilakukan oleh Ka’ab bin Malik?" Seorang dari golongan Bani Salimah menjawab: "Ya Rasulullah, ia ditahan oleh pakaian indahnya dan oleh keadaan sekelilingnya yang indah pandangannya." Kemudian Mu’az bin Jabal Radhiallahu’anhu berkata: "Buruk sekali yang kau katakan itu. Demi Allah ya Rasulullah, kita tidak pernah melihat keadaan Ka’ab itu kecuali yang baik-baik saja." Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam berdiam diri. Ketika beliau Shallallahu’alaihi wasallam dalam keadaan seperti itu lalu melihat ada seorang yang mengenakan pakaian serba putih yang digerak-gerakkan oleh fatamorgana, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: "Engkaukah Abu Khaitsamah? "Memang orang itu adalah Abu Khaitsamah al-Anshari dan ia adalah yang pernah bersedekah dengan sesha’ kurma ketika dicaci oleh kaum munafiqin.

Ka’ab berkata selanjutnya: "Setelah ada berita yang sampai di telingaku bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam telah menuju kembali dengan kafilahnya dari Tabuk, maka datanglah kesedihanku lalu saya mulai mengingat-ingat bagaimana sekiranya saya berdusta untuk mencari alasan tidak mengikuti peperangan. Saya berkata pada diriku, bagaimana caranya supaya dapat terhindar dari kemurkaannya esok sekiranya beliau telah tiba. Saya pun meminta bantuan untuk menemukan jalan keluar dari kesulitan ini dengan setiap orang yang banyak mempunyai pendapat dari keluargaku. Setelah diberitahukan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam telah tiba maka lenyaplah kebathilan dari jiwaku, yakni keinginan untuk berdusta itu, sehingga saya mengetahui bahwa saya tidak dapat menyelamatkan diriku dari kemurkaannya itu dengan sesuatu apapun untuk selama-lamanya. Oleh sebab itu saya bertekad akan mengatakan yang sebenarnya.

Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam itu apabila datang dari perjalanan, tentu memulai dengan memasuki masjid, kemudian sholat dua rakaat, kemudian duduk di hadapan orang banyak. Setelah beliau melakukan yang sedemikian itu, maka datanglah padanya orang-orang yang tidak mengikuti peperangan untuk mengemukakan alasan mereka dan mereka pun bersumpah dalam mengemukakan alasan-alasannya itu. Jumlah yang tidak mengikuti itu ada delapan puluh lebih -tiga sampai sembilan-. Beliau Shallallahu’alaihi wasallam menerima alasan-alasan yang mereka kemukakan secara terus terang, juga membai’at -meminta janji setia- mereka serta memohonkan pengampunan untuk mereka pula, sedang apa yang tersimpan dalam hati mereka diserahkan kepada Allah Ta’ala. Demikianlah sehingga saya pun datang menghadap beliau Shallallahu’alaihi wasallam, Setelah saya mengucapkan salam padanya, beliau tersenyum bagaikan senyumnya orang yang murka, kemudian bersabda: "Kemarilah!" Saya mendatanginya sambil berjalan sehingga saya duduk di hadapannya, kemudian beliau Shallallahu’alaihi wasallam bertanya padaku: "Apakah yang menyebabkan engkau tertinggal bukankah engkau telah membeli unta untuk kendaraanmu?"

Ka’ab berkata: Saya lalu menjawab: "Ya Rasulullah, sesungguhnya saya, demi Allah, andaikata saya duduk di sisi selainmu dari golongan ahli dunia, niscayalah saya berpendapat bahwa saya akan dapat keluar dari kemurkaannya dengan mengemukakan suatu alasan. Sebenarnya saya telah dikaruniai kepandaian dalam berbicara. Tetapi saya ini, demi Allah, pasti dapat mengerti bahwa jika saya memberitahukan kepadamu dengan suatu alasan dusta pada hari ini yang engkau akan merasa ridho dengan ucapanku itu, namun sesungguhnya Allah hampir-hampir akan memurkaimu karena perbuatanku itu. Sebaliknya jika saya memberitahukan kepadamu dengan hal yang sebenarnya yang dengan demikian itu engkau akan murka atas diriku dalam hal ini, sesungguhnya saya hanyalah menginginkan kesudahan yang baik dari Allah ‘Azza wajalla. Demi Allah, saya tidak beruzur sedikitpun hingga tidak mengikuti peperangan itu. Demi Allah, sama sekali saya belum merasakan bahwa saya lebih kuat dan lebih ringan untuk mengikutinya, yakni di waktu saya membelakangimu sehingga tidak ikut berangkat."

Ka’ab berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam lalu bersabda, "Tentang orang ini, maka perkatannya memang benar, maka berdirilah (pergilah) sehingga Allah akan memberikan keputusannya tentang dirimu."

Ada beberapa orang dari golongan Bani Salimah yang berjalan mengikuti jejakku, mereka berkata: "Demi Allah, kami tidak mengetahui engkau pernah bersalah dengan melakukan sesuatu dosapun sebelum saat ini. Engkau agaknya tidak kuasa, mengapa engkau tidak mengemukakan keuzuranmu saja kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam sebagaimana keuzuran yang dikemukakan oleh orang-orang yang tertinggal yang lain-lain. Sebenarnya bukankah telah mencukupi untuk menghilangkan dosamu itu jikalau Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam suka memohonkan mengampunan kepada Allah untukmu."

Ka’ab berkata: Demi Allah, tidak henti-hentinya orang-orang itu mencelaku untuk menginginkan agar saya kembali kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam untuk mendustakan diriku sendiri. Kemudian saya berkata kepada orang-orang itu: "Apakah ada orang lain yang mengalami peristiwa sebagaimana hal yang saya alami?" Orang-orang itu menjawab: "Ya, ada dua orang yang mengalami keadaan seperti itu. Keduanya berkata sebagaimana yang engkau katakan lalu terhadap keduanya itupun diucapkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam sebagaimana kata-kata yang diucapkan padamu."

Ka’ab berkata: "Siapakah kedua orang itu?" Orang-orang menjawab: "Mereka itu ialah Murarah bin Rabi’ah al-’Amiri dan Hilal bin Umayyah al-Waqifi."

Ka’ab berkata: Orang-orang itu menyebut-nyebutkan di depanku bahwa kedua orang itu adalah orang-orang jujur dan juga benar-benar ikut menyaksikan peperangan Badar dan keduanya dapat dijadikan sebagai teladan.

Ka’ab berkata: Saya kemudian pergi setelah mereka selesai menyebut-nyebutkan tentang kedua orang tersebut di depanku.

Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam melarang kaum Muslimin untuk bercakap-cakap dengan ketiga orang di antara orang-orang yang tidak mengikuti perjalanan beliau itu.

Ka’ab berkata: "Orang-orang menjauhi kami," dalam riwayat lain ia berkata: "Orang-orang berubah sikap terhadap kami bertiga, sehingga dalam jiwaku seolah-olah bumi ini tidak mengenal lagi akan diriku, maka seolah-olah bumi ini adalah bukan bumi yang saya kenal sebelumnya. Kami bertiga mengalami hal demikian selama lima puluh malam. Adapun dua kawan saya, maka keduanya itu menetap saja dan selalu duduk-duduk di rumahnya sambil menangis. Tentang saya sendiri, maka saya adalah yang termuda di kalangan kami bertiga dan lebih tahan mendapatkan ujian. Oleh sebab itu saya pun keluar serta menyaksikan shalat jamaah bersama kaum Muslimin lain-lain dan juga suka berkeliling di pasar-pasar, tetapi tidak seorang pun yang mengajak bicara padaku. Saya pernah mendatangi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dan mengucapkan salam padanya dan beliau ada di majlisnya sehabis shalat, kemudian saya berkata dalam hatiku, apakah beliau menggerakkan kedua bibirnya untuk menjawab salamku itu ataukah tidak. Selanjutnya saya sholat dekat sekali pada tempatnya dan saya mengamat-amatinya dengan pandanganku. Jikalau saya mulai mengerjakan shalat, beliau melihat padaku, tetapi jikalau saya menoleh padanya, beliaupun lalu memalingkan mukanya dari pandanganku.

Demikian halnya, sehingga setelah terasa amat lama sekali isolir kaum Muslimin terhadap diriku, lalu saya berjalan sehingga saya menaiki dinding muka dari rumah Abu Qatadah. Ia adalah anak pamanku dan ia adalah orang yang tercinta bagiku di antara semua orang. Saya memberikan salam padanya, tetapi demi Allah, ia tidak menjawab salamku itu. Kemudian saya berkata kepadanya: "Hai Abu Qatadah, saya hendak bertanya padamu karena Allah, apakah engkau mengetahui bahwa saya ini mencintai Allah dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi wasallam?" Ia diam saja, lalu saya ulangi lagi dan bertanya sekali iagi padanya, ia pun masih diam saja. Akhirnya saya ulangi lagi dan saya menanyakannya sekali lagi, lalu ia berkata: "Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui tentang itu." Oleh sebab jawabnya ini, maka mengalirlah air mataku dan saya meninggalkannya sehingga saya menaiki dinding rumah tadi.

Ketika saya berjalan di pasar kota, tiba-tiba ada seorang petani dari golongan petani negeri Syam, yaitu dari golongan orang-orang yang datang dengan membawa makanan yang hendak dijualnya di Madinah, lalu orang itu berkata: "Siapakah yang mau menunjukkan, manakah yang bernama Ka’ab bin Malik." Orang-orang lain menunjukkannya ke arahku, sehingga orang itu pun mendatangi tempatku, kemudian menyerahkan sepucuk surat dari raja Ghassan yang beragama Nasrani. Saya memang orang yang dapat menulis, maka surat itupun saya baca, Ternyata isinya sebagai berikut:

"Amma ba’d. Sesungguhnya telah sampai berita pada kami bahawa sahabatmu -yakni Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam- telah mengisolirmu. Allah tidaklah menjadikan engkau untuk menjadi orang hina di dunia ataupun orang yang dihilangkan hak-haknya. Maka dari itu datanglah di tempat kami maka kami akan menggembirakan hatimu."

Kemudian saya berkata setelah selesai membacanya: "Ah, inipun juga termasuk musibah," lalu saya menuju ke dapur dengan membawa surat tadi kemudian saya membakarnya. Selanjutnya setelah lepas waktu selama empat puluh hari dari jumlah lima puluh hari, sedang waktu terasa lambat datangnya tiba-tiba datanglah di tempatku seorang utusan dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, lalu berkata: "Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam memerintahkanmu supaya engkau menjauhi isterimu." Saya bertanya: "Apakah saya harus menceraikannya ataukah apa yang harus saya lakukan?" Ia berkata: "Tidak usah menceraikan, tetapi jauhilah dia, jadi jangan sekali-kali engkau mendekatinya." Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam juga mengirimkan utusan kepada kedua sahabat saya -yang senasib- sebagaimana yang dikirimkannya padaku. Kemudian saya berkata pada isteriku: "Susullah dulu keluargamu. Beradalah di sisi mereka sehingga Allah akan menentukan bagaimana kelanjutan peristiwa ini."

Isteri Hilal bin Umayyah mendatangi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, lalu berkata pada beliau: "Ya Rasulullah, sesungguhnya Hilal bin Umayyah itu seorang yang amat tua dan hanya sebatang kara, tidak mempunyai pelayan juga. Apakah engkau juga tidak senang andaikata saya tetap melayaninya?" Beliau Shallallahu’alaihi wasallam menjawab: "Tidak, tetapi jangan sekali-kali ia mendekatimu" Isterinya berkata lagi: "Sesungguhnya Hilal itu demi Allah, sudah tidak mempunyai gerak sama sekali pada sesuatu pun dan demi Allah, ia senantiasa menangis sejak terjadinya peristiwa itu sampai pada hari ini."

Sebagian keluargaku berkata padaku: "Alangkah baiknya sekiranya engkau meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dalam persoalan isterimu itu. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam juga telah mengizinkan kepada isteri Hilal bin Umayyah untuk tetap melayaninya." Saya berkata: "Saya tidak akan meminta izin untuk isteriku itu kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, saya pun tidak tahu bagaimana nanti yang akan diucapkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam sekiranya saya meminta izin pada beliau perihal isteriku itu? Saya adalah seorang yang masih muda." Saya tetap dalam kondisi tanpa isteri selama sepuluh malam maka telah genaplah jumlahnya menjadi lima puluh hari sejak kaum Muslimin dilarang berbicara dengan kami.

Selanjutnya saya sholat Subuh pada pagi hari kelima puluh di muka rumah dari salah satu rumah keluarga kami. Kemudian di kala saya sedang duduk dalam keadaan yang disebutkan oleh Allah Ta’ala perihal diri kami itu, jiwa ku terasa amat sempit sedang bumi yang luas terasa amat kecil, tiba-tiba saya mendengar suara teriakan seseorang yang berada di atas gunung Sala’ -sebuah gunung di Madinah-, ia berkata dengan suaranya yang amat keras:"Hai Ka’ab bin Malik, bergembiralah." Segera setelah mendengar itu, saya pun bersujud dan saya meyakinkan bahwa telah ada kelapangan yang datang untukku. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam telah memberitahukan pada semua orang bahwa taubat kami bertiga telah diterima oleh Allah ‘Azzawajalla, yaitu di waktu beliau sholat Subuh. Maka orang-orang pun menyampaikan berita gembira itu pada kami dan ada pula pembawa-pembawa kegembiraan itu yang mendatangi kedua sahabatku. Ada seorang yang dengan cepat-cepat melarikan kudanya serta bergegas-gegas menuju ke tempatku dari golongan Aslam namanya Hamzah bin Umar al-Aslami. Ia menaiki gunung dan suaranya itu kiranya lebih cepat terdengar olehku daripada datangnya kuda itu sendiri. Setelah dia datang padaku yakni orang yang ku dengar suaranya tadi, ia pun memberikan berita gembira padaku, kemudian saya melepaskan kedua bajuku dan saya berikan kepadanya untuk dipakai, sebagai hadiah dari berita gembira yang disampaikannya itu. Demi Allah, saya tidak mempunyai pakaian selain keduanya tadi pada hari itu. Maka saya pun meminjam dua buah baju dan saya kenakan lalu berangkat menuju ke tempat Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam. Orang-orang menyambut kedatanganku itu sekelompok demi sekelompok menyatakan ikut gembira padaku sebab taubatku yang telah diterima. Mereka berkata: "Semoga gembiralah hatimu karena Allah telah menerima taubatmu itu." Demikian akhirnya saya memasuki masjid, di situ Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam sedang duduk dan di sekelilingnya ada beberapa orang. Thalhah bin Ubaidullah Radhiallahu’anhu berdiri cepat-cepat kemudian menjabat tanganku dan menyatakan ikut gembira atas diriku. Demi Allah tidak ada seorang pun dari golongan kaum Muhajirin yang berdiri selain Thalhah itu. Oleh sebab itu Ka’ab tidak akan melupakan peristiwa itu untuk Thalhah.

Ka’ab berkata: "Ketika saya mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam beliau tampak berseri-seri wajahnya karena gembiranya lalu bersabda: "Bergembiralah dengan datangnya suatu hari baik yang pernah engkau alami sejak engkau dilahirkan oleh ibumu. "Saya bertanya: "Apakah itu datangnya dari sisimu sendiri yaa Rasulullah, atau kah dari sisi Allah?" Beliau Shallallahu’alaihi wasallam menjawab: "Tidak dari aku sendiri, tetapi memang dari Allah ‘Azzawajalla". Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam itu jika gembira hatinya, maka wajahnya pun bersinar indah, seolah-olah wajahnya itu adalah sepenuh bulan, kita semua mengetahui hal itu.

Setelah saya duduk di hadapannya, saya lalu berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya untuk menyatakan taubatku itu ialah saya hendak melepaskan sebagian hartaku sebagai sedekah kepada Allah dan Rasul-Nya." Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: "Tahanlah untukmu sendiri sebagian dari harta-hartamu itu, sebab yang demikian itu adalah lebih baik." Saya menjawab: "Sebenarnya saya telah menahan bagianku yang ada di tanah Khaibar." Selanjutnya saya meneruskan: "Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah telah menyelamatkan diriku dengan jalan berkata jujur, maka sebagai tanda taubatku pula bahwa saya tidak akan berkata kecuali yang sebenarnya saja selama kehidupanku yang masih tertinggal." Demi Allah, belum pernah saya melihat seseorang pun dari kalangan kaum Muslimin yang diberi cobaan oleh Allah Ta’ala dengan sebab kebenaran kata-kata yang diucapkan, sejak saya menyebutkan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam yang jadinya lebih baik dari yang telah dicobakan oleh Allah Ta’ala pada diriku sendiri. Demi Allah, saya tidak bermaksud akan berdusta sedikitpun sejak saya mengatakan itu kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam sampai pada hariku ini dan sesungguhnya saya pun mengharapkan agar Allah Ta’ala senantiasa melindungi diriku dari kedustaan itu dalam kehidupan yang masih tertinggal untukku."

Ka’ab berkata; "Kemudian Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya:

لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

وَعَلَى الثَّلاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الأرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

"Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang." (at-Taubah: 117-119)

Ka’ab berkata: "Demi Allah, belum pernah Allah memberikan kenikmatan padaku sama sekali setelah saya memperolehi petunjuk dari Allah untuk memeluk Agama Islam ini, yang kenikmatan itu lebih besar dalam perasaan jiwaku, melebihi perkataan jujurku yang saya sampaikan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, sebab saya tidak mendustainya, sehingga andaikata demikian tentulah saya akan rusak sebagaimana kerusakan yang dialami oleh orang-orang yang berdusta. Sesungguhnya Allah Ta’ala telah berfirman kepada orang-orang yang berdusta ketika diturunkannya wahyu, yaitu suatu kata-kata terburuk yang pernah diucapkan kepada seseorang. Allah Ta’ala berfirman:

سَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ لَكُمْ إِذَا انْقَلَبْتُمْ إِلَيْهِمْ لِتُعْرِضُوا عَنْهُمْ فَأَعْرِضُوا عَنْهُمْ إِنَّهُمْ رِجْسٌ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

يَحْلِفُونَ لَكُمْ لِتَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنْ تَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لا يَرْضَى عَنِ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ

"Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahanam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu rida kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu rida kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak rida kepada orang-orang yang fasik itu." (at-Taubah: 95-96)

Ka’ab berkata: Kami bertiga ditinggalkan, sehingga tidak termasuk dalam urusan golongan orang-orang yang diterima oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam perihal alasan-alasan mereka itu, yaitu ketika mereka juga bersumpah padanya, lalu memberikan janji-janji kepada mereka supaya setia dan memohonkan pengampunan untuk mereka pula. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam telah mengakhirkan urusan kami bertiga sehingga Allah memberikan keputusan dalam peristiwa tersebut. Allah Ta’ala berfirman: "Dan juga kepada tiga orang yang ditinggalkan."

Bukannya yang disebutkan di situ yaitu dengan firman-Nya "Tiga orang yang ditinggalkan" dimaksudkan kami membelakang dari peperangan, tetapi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam yang meninggalkan kami bertiga tadi dan menunda urusan kita, dengan tujuan untuk memisahkan dari orang-orang yang bersumpah dan mengemukakan alasan-alasan padanya, kemudian menyampaikan masing-masing keuzurannya dan selanjutnya beliau Shallallahu’alaihi wasallam menerima alasan-alasan mereka tersebut."

(Muttafaq ‘alaih)

Sumber: http://sunniy.wordpress.com/ diposting kembali oleh http://thuwalibah.blogspot.com/

0 komentar:

Posting Komentar

Blogroll

About Me

Foto Saya
Thuwalibah
Hanya seorang akhwat faqiir, yang membutuhkan banyak Ilmu, membutuhkan banyak Nasihat, membutuhkan banyak Bimbingan, dan membutuhkan banyak Belajar.. Hanya seorang muslimah yang berharap ampunan dari Robb-Nya, berharap ridha-Nya, berharap cinta-Nya, dan berharap selalu mendapat petunjuk-Nya. Seorang muslimah yang memohon pada Rabbul Izzati, "Wahai Dzat yang membolak-balikan hati, tetapkanlah hatiku diatas agama-Mu" Melalui blog ini, seorang muslimah mencoba berbagi dengan harapan dapat sedikit ikut membantu menyebarkan Dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Lihat profil lengkapku

Followers

Blog Archive

Widget-1 title


ShoutMix chat widget

Widget-3 title

Asy-Syaikh Al Fauzan hafizhahullooh ketika menjawab pertanyaan, apakah ada perbedaan antara aqidah & manhaj? Manhaj lebih penting daripada aqidah, karena manhaj mencakup aqidah, perilaku, akhlaq, muammalah dan semua sisi kehidupan seorang muslim. Setiap saat yang seorang muslim berjalan di atasnya dinamakan manhaj. Ada pun aqidah maka yg dimaksud adalah dasar iman, makna syahadatain dan semua konsekwensinya, ini lah yg dimaksud dengan aqidah. (Al Ajwibah Al Mufidah hal. 123)

Recent Posts