Kamus Tafsir Mimpi

Muqaddimah

Sebetulnya, seringnya seorang muslim melihat mimpi yang benar merupakan tanda-tanda semakin dekatnya kiamat kecil yang setiap orang di anatara kita akan menghadapinya. Sebagaimana hal ini diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhori dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu dari Nabi, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Apabila zaman mulai berdekatan (waktu terasa singkat), hampir-hampir mimpi seorang muslim itu tidak dusta.”



Barangkali himahnya adalah bahwa seorang mukmin di akhir zaman nanti akan menjadi orang yang terasing, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim juga:

“Sesungguhnya Islam itu datang pertama kali dalam keadaan asing, dan akan kembali asing sebagaimana awalnya.” (HR Muslim dari Ibnu ‘Umar)

Sehingga sangat sedikit yang menghibur seorang mukmin dan yang menolongnya untuk tetap taat di saat itu. Oleh karena itu dia dimuliakan dengan mimpi yang benar, sebagai berita gembira dan pemantapan kedudukannya di atas shirathal mustaqim (jalan yang lurus).

Adapun mereka yang mena’birkan mimpi dan ahlam ini sangat sedikit pula jumlahnya di satu tempat. Terutama yang memang dianugerahi Allah ilmu, hikmah dan bashirah (pandangan) yang tajam dalam mena’birkannya. Dan buku-buku tentang tafsir mimpi ini penuh berisi hal-hal yang sangat bermanfaat. Namun sangat sedikit orang yang tidak mampu mengambil faedah dan menelaahnya dengan baik. Dari sinilah kami haturkan barisan pembahasan ini dengan segenap kerendahan hati, sebagai pembuka pintu atau jalan bagi para pembaca menuju penafsiran mimpi ini, serta bagaimana etika dan tata caranya. Muda-mudahan buku ini menjadi pembimbing kepada penafsiran mimpi yang mendekati kebenaran dan paling jelas dalam menerangkannya, yang disadur sebagian besarnya dari Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Kedudukan Mimpi

Kadang ada yang bertanya: “Apakah mimpi itu dibutuhkan dan apa sisi kepentingannya, sedang semua urusan ini adalah dengan qadha dan qadar Allah?”

Kita katakan bahwa ayat-ayat dalam Kitab Allah Rabb smesta alam, juga dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menerangkan tentang mimpi ini dan anjuran untuk isti’adza (berlindung) darinya.

Hal ini menunjukkan betapa besar dan mulianya perihal mimpi ini. betapa banyak mimpi yang baik menjadi sebab hidayah bagi orang yang durhaka. dan berapa banyak mimpi ini menjadi sebab terjaganya seseorang dari jatuh ke dalam hal-hal yang membinasakan. dan kalau kita ingin menghitung sisi kebaikan yang menjelaskan keutamaan mimpi serta kepentingannya, tentulah kita temukan kebaikan yang sangat banyak. perhatikanlah sebagian yang telah dipaparkan oleh Al-Qur’an:

“Ibrahim berkata: ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. maka pikirkanlah apa pendapatmu?’” (Ash-Shaaffaat: 102)

mimpi Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam mempunyai kedudukan sebagai syariat bagi umat ini, sehingga Allah syariatkan bagi kita ibadah kurban (adha).

perhatikan mimpi NAbi Yusuf ‘Alaihis Salam, niscaya akan kita dapati suatu hal yang menakjubkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman ketika menerangkan keutamaan mempelajari ta’wilnya:

“Dan demikianlah Rabbmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta’bor mimpi-mimpi.” (Yusuf: 6)

Jadi, ilmu tentang ta’wilnya adalah ilmu yang terpuji menurut syari’at. Dan karena ilmu tentang mimpi adalah terpuji, tentunya mimpi (ru’ya) itu sendiri adalah suatu hal yang baik.

Perhatikan pula surat Al-Anfal yang bercerita tentang Perang Badr, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada NAbi-Nya:

“(Yaitu) ketika Allah menampakkan mereka kepadamu di dalam mimpimu (berjumlah) sedikit. Dan sekiranya Allah memperlihatkan mereka kepadamu (berjumlah) banyak, tentu saja kamu menjadi gentar dan tentu saja kamu akan berbantah-bantahan dalam urusan itu, akan tetapi Allah telah menyelamatkan kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (Al-Anfal: 43)

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperlihatkan keada Nabi-Nya bahwasanya orang-orang kafir jumlahnya sedikit. Padahal kenyataannya berbeda, karena jumlah mereka 900 orang, lebih banyak dari kaum muslimin yang berjumlah 300 orang. namun demikian, Allah memperlihatkan kepada Nabi-Nya sedikitnya jumlah kaum musyrikin untuk menumbuhkan semangat dan keberanian kaum mukminin untuk memerangi mereka. oleh karena itu pula selanjutnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di anatara kalian, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh (Al-Anfal: 65)

Dan perhatikan pula mimpi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada masa penaklukan kota Makkah, yang beliau lihat sebelum membebaskannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki masjidil haram, insyaAllah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.” (Al-Fath: 27)

Maka mimpi ini merupakan penenang bagi beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para shabatnya dengan akan bebasnya kota Makkah. dan kenyatannya memang sebagaimana yang dilihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (dalam mimpinya).

Kalau kita berbicara tentang mimpi para Nabi Allah dan Rasul-Nya tentulah sangat banyak kita dapatkan. tapi kami ingin menggaris bawahi satu masalah penting yaitu bahwa mimpi para Nabi itu tidak sama dengan mimpi manusia lainnya, karena mimpi mereka adalah wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sedangkan pentingnya mimpi pada sebagian individu, mungkin sebagai berita gembira dan peringatan. adapaun berita gembira (busyra) bagi yang melihatnya, adalah hal-hal yang bermanfaat untuk dunia dan akhiratnya. kalau dia seorang yang taat misalnya, maka dia akan tetap teguh (konsisten) di atas ketaatan itu, bahkan berupaya dengan sungguh-sungguh untuk menjaganya. dan kalau dia seorang ahli maksiat, maka mimpi ini sebagai ancaman yang menakut-nakutinya dari siksa dan murka Allah serta peringatan dari-Nya agar tidak terus-menerus tenggelam dalam kemaksiatan itu. dan kalaupun tidak ada hal lain dalam mimpi itu selain hal ini, maka itupun cukup sebagai keutamaan dan penghargaan bagi mimpi ini.

Sering kita dengar orang-orang yang bermaksiat; tidak mau shalat atau bermuamalah dengan cara riba (rente), atau mereka sediakan kelapangan mereka untuk para ahli maksiat dan kemungkaran ini. dan sering pula kita dengar mimpi ini menjadi sebab yang menggugah mereka untuk beribah menjadi orang yang istiqamah (konsisten) dalam ketaatan kepada Allah serta berpaling menjauhi perbuatan yang selama ini mereka lakukan.

Kesimpulannya, di dalam mimpi itu terdapat manfaat yang hanya diketahui oleh Allah Subhanahu wa Ta’aladan merupakan sebagian nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para hamba-Nya; berita gembira bagi seorang mukmin, penggugah bagi orang-orang yang lalai, dan peringatan bagi orang-orang yang berpaling serta hujjah terhadap para penentang.

Penulis kitab At-Tamhid mengatakan:

“Ilmu tentang ta’wil mimpi termasuk ilmu para Nabi dan orang-orang yang beriman. Cukuplah bagimu apa yang telah diternagkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam dan atsar yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam serta ijma’ para imam pembawa petunjuk dari kalangan shahabat dan tabi’in serta para ulama kaum muslimin Ahlus Sunnah wal Jama’ah sesudah mereka, untuk mengimaninya dan meyakini bahwasanya mimpi itu adalah hikmah yang sempurna dan nikmat yang dianugerahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada orang yang dikehendaki-Nya, sekaligus sebagai berita gembira yang tersisa setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.


Pembagian Golongan Manusia Menurut Mimpi

Menurut orang yang melihatnya (yang bermimpi) terbagi menjadi beberapa bagian. Dan ini sesuai dengan jujur tidaknya orang yang bermimpi. Berdasarkan keadaan orang yang bermimpi, ahli ilmu membagi keadaan manusia sehubungan dengan mimpi ini menjadi lima bagian, yaitu:

1. Para Nabi

2. Shalihuh (orang-orang shalih)

3. MAsturun (yang tidak diketahui keadaannya)

4. Fasaqah (orang-orang fasiq)

5. Kuffar (orang-orang kafir)



1. Mimpi Para Nabi

Mereka adalah manusia-manusia yang paling jujur (benar) mimpinya, dan ini tidak diragukan lagi. KArena mereka adalah orang-orang yang paling benar (jujur) ucapan dan perbuatannya. Sebab itulah mimpi NAbi kita Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bagaikan cahaya subuh (pagi) yang terang, karena mimpi beliau adalah wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada beliau.



2. Mimpi orang-orang Shalih

Mereka berada pada urutan kedua setelah para Nabi dan Rasul Allah. Yang Dominan pada mimpi mereka adalah kebenaran. Namun diantaranya ada yang perlu dita’birkan dan ada pula yang tidak perlu (karena mimpi itu) sudah menunjukkan suatu perkara yang sangat jelas.

Rasullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Yang paling benar mimpinya adalah yang paling benar ucapannya.”

Dan beliau juga bersabda:

“Mimpi yang baik dari orang yang shalih adalah satu dari 46 bagian kenabian (nubuwwa). (HR Al-Imam Bukhrori dan Muslim)



3. Mimpi Para Masturin (Orang yang tidak dikenal keadaannya)

Yaitu orang-orang yang tidak diketahui apakah dia melakukan shalat, berzakat, haji dan ketaatan lainnya, mereka kurang dalam sebagian amalan dan mempunyai dosa yang lebih rendah dari syirik. Mereka ini juga mempunyai mimpi, namun kadang dari Allah dan kadang dari syaithan.



4. Mimpi Orang-orang Fasik

Mimpi mereka sangat sedikit benarnya, yang paling dominan adalah mimpi-mimpi kosong yang merupakan permainan syaithan.



5. Mimpi orang-orang Kafir

Mimpi mereka sangat jarang benarnya. Hal ini dikarenakan kekejian dan kekafiran mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan pada umumnya mimpi mereka adalah dari syaithan. Akan tetapi kadang mereka melihat mimpi yang benar. Namun demikian masih dipertanyakan. apakah mimpi tersebut berasal dari wahyu atau kita katakana satu dari 46 bagian kenabian?

Al-Imam Al-Qurthubi menjawab hal ini, beliau mengatakan:

“Jika dikatakan bahwa mimpi yang benar itu adalah satu bagian dari kenabian, bagaimana mungkin orang kafir dan pendusta serta kacau keadaannya memperoleh atau bisa mendapatkannya?

Jawabnya ialah bahwasanya orang yang kafir, fajir (jahat), fasik dan pendusta itu, meskipun suatu ketika mimpi mereka benar, itu bukanlah dari wahyu dan bahkan bukan juga dari nubuwwah. Karena tidaklah semua yang benar dalam berita tentang perkara ghaib, lantas beritanya merupakan nubuwwah. Dan sudah dijelaskan dalm surat Al-An’am bahwa seorang dukun atau yang lainnya (paranormal dan sejenisnya) kadang-kadang menyampaikan suatu berita dengan pernyataan yang benar (haq) lalu dibernarkan (dipercaya). Akan tetapi hal itu sangat jarang dan sedkit sekali. Demikian pula mimpi mereka ini. [Tafsir Al-Qurthubi (9/124)]


Tanda-Tanda Untuk Mengenal Sebuah Mimpi

Yang pertama: Tanda-tanda Mimpi yang Benar

1. Bersih dari mimpi kosong, bayang-bayang yang menakutkan dan meresahkan.

2. Dapat dipahami ketika terjaga. Yang bermimpi tidak melihat dalam tidurnya sesuatu yang bertolak belakang, seperti mimpi melihat orang berdiri dalam keadaan duduk.

3. Tidur dalam keadaan pikirannya jernih, tidak disibukkan oleh satu persoalan pun. Karena pada umumnya, mimpi orang yang seperti ini adalah karena bisikan jiwanya (angan-angannya) sebelum tidur. Misalnya dia dalam keadaan haus lalu tertidur dan dalam tidurnya mimpi dia sedang minum. Atau lapar lalu mimpi sedang makan dan sebagainya.

4. Mimpi tersebut dapat dita’wil dan sesuai dengan yang ada di Lauh MAhfuzh. Kalau mimpi itu kadang terlihat begini atau kadang begitu, maka itu tidaklah dinamakan mimpi yang baik dan benar. Karena mimpi yang benar itu harus tersusun rapi yang sesuai dan memungkinkan untuk dita’wilkan (ditafsirkan).


Yang Kedua: Mimpi yang Diperbuat oleh Syaithan

Mimpi ini sangat berbeda dengan yang telah kami paparkan. Sehingga kalau mimpi ini meliputi berbagai perkara yang mendatangkan duka cinta, keresahan, ketakutan dan sebagainya, maka tidak perlu diperhatikan karena itu adalah perbuatan syaithan.

Al-Allamah ‘Abdurrahman bin NAshir As-Sa’di rahimahullah mengatakan:

“Perbedaan antara ahkam yang berupa mimpi-mimpi kosong dan tidak bisa dita’wil, seperti orang yang bermimpi dalam keadaan dia sibuk berfikir dan berangan-angan terhadap suatu persoalan. Maka kebanyakan yang dilihatnya dalam tidurnya adalah sejenis dengan apa yang dipikirkannya ketika dia dalam keadaan jaga. Jenis ini biasanya mimpi kosong yang tidak ada ta’wilnya.

Demikian juga bentuk lain yang dilemparkan syaithan kepada ruh orang yang tidur, berupa mimpi dusta dan makna-makna yang kacau. Ini juga mimpi yang tidak ada ta’wilnya. Dan tidak perlu menyibukkan pikirannya dengan hal ini. Bahkan sebaliknya dia membiarkannya begitu saja.

Adapun mimpi yang benar, maka itu adalah ilham yang diberikan Allah kepada ruh ketika dia lepas dari jasad pada waktu tidur. Atau tamsil yang dibuat oleh malaikat bagi seorang manusia agar dia memahami apa yang sesuai dengan tamsil itu. Yakni, kadang dia melihat sesuatu sesuai hakekatnya, dan ta’birnya adalah apa yang dilihatnya dalam tidurnya. (Al-Majmu’atul Kamilah li Mu’allafat Ibnu Sa’di, (1/108)
Pedoman Menafsirkan Mimpi

Sangat disayangkan dalam masa-masa terakhir ini banyak orang yang berusaha mena’birkan mimpi. Yang kami maksud tentunya bukan para ahli dalam masalah ta’bir dan ta’wil, tetapi mereka yang terlalu berani mena’birkannya tanpa memperhatikan dan memahami permasalahannya. Dan mereka menyangka bahwa masalah ini adalah perkara yang gampang.

Mereka lupa bahwa selama mimpi ini bagian dari nubuwwah (kenabian), maka tidak boleh terllau berani menta’wilnya kecuali dengan dasar ilmu dan kekuatan pemahaman. Alangkah banyak kami dengar orang-orang yang mena’birkan mimpi ini tidak benar, akhirnya merusak urusan dunia orang yang bermimpi. Akibatnya dia memutuskan hubungan silaturrahmi, yang sebetulnya diperintahkan untuk menyatukannya. Semua itu disebabkan ta’bir yang salah.

Maka ketika mimpi ini ternyata mengambil bagian terbesar dalam kehidupan sebagian manusia, jelas sudah seharusnya diberlakukan pedoman untuk mena’birkan mimpi tersebut. Dan sebelum kita menerangkan patokan-patokan atau kaidah dalam mena’birkan mimpi ini, kita Tanya pada diri kita masing-masing: Mengapa ada sebagian orang yang berani mena’birkannya tanpa ilmu? Ini adalah pertanyaan yang mesti dijawab karena melihat bahayanya perkara ini. Apalagi sudah banyak yang terjerumus ke dalamnya.

Adapun sebab-sebabnya:

1. Lemahnya sisi keimanan

Keimanan adalah penggerak dan pelindung hati sesudah adanya taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak sepantasnya. seandainya semua pelaku maksiat ingat bahwa imannya tidak mengizinkannya untuk berbicara atas nama Allah tanpa ilmu, tidak mungkin dia akan berani mencoba-coba melakukannya. Bahkan tentu dia akan lebih memilih apa yang pantas baginya dalam urusan dien dan dunianya.

2. Lalai dari kehidupan akhirat

Sesungguhnya ahli ta’wil yang kekanakkan, yakni mereka yang tidak mempedulikan dan tidak mempertimbangkan permasalahan ini dengan kadar yang sesuai, mereka pada hakekatnya adalah orang-orang yang lalai dari kampong akhirat. Lalai bahwa mereka akan berdiri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Boleh jadi mimpi itu menjadi dakwah yang mengajaknya untuk konsisten (istiqamah) atau agar yang melihatnya melepaskan diri dari berbagai kemungkaran yang dijalaninya. Sehingga jika orang yang mena’birkannya ternyata salah, tidaklah ada jalan lain kecuali yang bermimpi tetap dalam keadaannya. Selanjutnya dia tidak mungkin konsisten dalam ketaatan dan tidak dapat melepaskan diri dari kemaksiatan. Dari sinilah seorang pena’bir menjadi sebab kebinasaan dan tersiksanya dia pada hari kiamat. Dari sini pula, seorang pena’bir akan ditanya tentang ta’birnya yang salah selama dia tahu bahwa dia bukan ahlinya.

3. Cinta kemasyhuran

Ini adalah kerusakan besar yang menimpa sebagian pena’bir di zaman kita. Hal ini adalah karena banyaknya mimpi di zaman ini.

4. Kurangnya ilmu

Yang kami maksud dengan ilmu adalah ilmu tentang syariat yang mengantarkan seseorang untuk mengenal Rabbnya (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan mengenal syariat-Nya. Maka jika mereka mengetahui hakekat Zat yang diibadahi (Yang Disembah) dan hakekat syariat-Nya tentulah tidak akan berani berbuat demikian (mena’birkan tanpa ilmu)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra’: 36)

Ringkasnya, saya mengingatkan para saudaraku tentang ucapan Imam Malik ketika ditanya: “Apakah setiap orang boleh mena’birkan mimpi? Dan apakah dengan nubuwwah dia bermain-main?”

Beliau mengatakan: “Tidak ada yang mena’birkan kecuali orang yang memang menguasai ilmunya. Maka kalau dia melihat kebaikan dia ceritakan. Adapun kalau dia melihat sesuatu yang yang dibenci maka ucapkanlah kebaikan atau diam.” Dikatakan kepada beliau: “apakah boleh mena’birkan suatu mimpi dengan kebaikan sedang menurutnya hal itu merupakan sesuatu yang dibenci, hanya karena ucapan seseorang bahwa mimpi itu adalah berdasarkan bagaimana kamu ta’wilkan?”

Kata beliau: “Tidak boleh. Mimpi itu adalah suatu bagian dari kenabian, maka janganlah bermain-main dengan masalah nubuwwah!” [Tafsir Al-Qurthubi (9/126), At-Tamhid (1/288)]


Pedoman Mena’birkan Mimpi

1. Apabila dia ingin mimpinya benar, hendaklah dia senantiasa jujur, benar akhlaknya, jauh dari dusta, ghibah dan namimah (menukil berita dari satu pihak dan membawanya kepada pihak lain untuk menimbulkan permusuhan dan perselisihan. Wallahu A’lam-pent)

2. Dianjurkan (sunnah) untuk berwudlu’ sebelum tidur agar mimpinya benar.

3. Senantiasa menjaga ‘iffah (kehormatan diri), karena orang yang tidak menjaga ‘iffah akan melihat mimpi dan tidak mengingatnya sedikutpun karena lemahnya niat dan banyaknya dosa serta kemaksiatannya.

4. Tidak mencerotakannya kepada otang jahil (tidak mengerti syariat Islam) atau musuh. Karena mimpi itu berada di kaki seekor burung, selama tidak diceritakan. Kalau sudah diceritakan dia akan hinggap (terjadi).

5. Tidak menceritakannya kepada seorang pena’bir, sementara di negerinya atau di kampungnya ada orang yang lebih pandai darinya dalam mena’bir.

6. Hendaklah dia menjauhi dusta dalam masalah mimpi ini, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Siapa yang berdusta dalam urusan mimpinya, niscaya dibebankan kepadanya pada hari kiamat untuk menyatukan dua biji gandum, dan siapa yang berdusta atas sumpahnya, tidak akan mendapatkan bau surga. Dan sesungguhnya sebesa-besar kedustaan adalah orang yang berdusta atas kedua matanya, dia katakan dia melihat sesuatu padahal dia tidak melihatnya.”


Beberapa Pengaruh Negatif Pada Sebagian Pena’bir yang Bukan Ahli

1. Sebagian orang menjadi lemah rasa tawakkalnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala karena terlalu berpegang kepada mimpi mereka.

2. Termasuk pengaruh negatif juga adalah adanya rasa takut dan gelisah yang lebih dominan ketika mengetahui ta’birnya. Hal ini ketika mimpi itu dita]birkan oleh orang yang cerdik, ternyata dia ditimpa rasa takut dan cemas karena ta’bir ini. Seandainya pena’bir diam lalu dia mengambil jalan selamatnya untuknya dan untuk orang yang bermimpi tentulah lebih baik dan lebih selamat.

3. Kecenderungan bersandar kepada mimpi tersebut sehingga mendorong pemiliknya untuk malas dan bebal, pada kebanyakan orang.

4. Termasuk pengarug negative bagi para pena’bir yang bukan ahlinya ialah kezhaliman terhadap orang lain dan melampau batas. Sebagian orang melihat satu mimpi kemudian ditafsirkan secara keliru, dan dia mempunyai musuh, bisa jadi mimpi itu diceritakan kepadanya atau disebutkan keadaannya. Selanjutkan akan muncul kezhaliman terhadap orang lain yang mengakibatkan permusuhan sehingga menjurus kepada pemukulan, caci maki atau mengungkapkan sesuatu yang tidak ada pada mereka dan sejenisnya.

5. Mengakibatkan runtuhnya bangunan. Ada sebagian orang yang bermimpi, lalu menafsirkannya, bahwasanya istrinya atau salah satu kerabatnya mengatakan tentang dia begini, begitu. Atau bahwasanya istrinya mengalami hal ini atau itu, yang berupa perkara-perkara yang tidak disukainya. Berikutnya, terjadilah berbagai hal yang menyebabkan hancurnya rumah tangga atau putusnya silaturrahmi.

6. Adanya sikap menggampangkan dari kebanyakan wanita dalam berbicara tanpa adanya kepentingan. Hal ini termasuk faktor yu’ani minhu sebagian besar, dan ini tidak ragu lagi terjadi atau muncul dari orang-orang yang jahil tentang hokum mimpi dan ta’birnya.

7. Sebagian orang kadang ditimpa suatu persoalan, lalu melihat mimpi dan ditafsirkan oleh seseorang yang bukan ahlinya. Kemudia dia berkata bahwa ada orang yang mengirimkan sihir, dan sejenisnsya kepadamu. Ini adalah bahaya besar, Karena akan menimbulkan rasa permusuhan dan kebencian di antara kerabat dan kabilah, yang mengakibtakna munculnya hal-hal yang tidak sepantasnya disebutkan. Inipun jelas berasal dari kebodohan para pena’bir terhadap mimpi.

[Dirangkum dari Kamus Tafsir Mimpi karya Asy-Syaikh Khalid Al-Anbari dan Pedoman Mena’birkan Mimpi” karya DR Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Penerbit Pustaka Ar-Rayyan dengan judul sampul Kamus Tafsir Mimpi]

Artikel dari: http://hanifatunnisaa.blogsome.com/ diposting ulang oleh http://thuwalibah.blogspot.com/

0 komentar:

Posting Komentar

Blogroll

About Me

Foto Saya
Thuwalibah
Hanya seorang akhwat faqiir, yang membutuhkan banyak Ilmu, membutuhkan banyak Nasihat, membutuhkan banyak Bimbingan, dan membutuhkan banyak Belajar.. Hanya seorang muslimah yang berharap ampunan dari Robb-Nya, berharap ridha-Nya, berharap cinta-Nya, dan berharap selalu mendapat petunjuk-Nya. Seorang muslimah yang memohon pada Rabbul Izzati, "Wahai Dzat yang membolak-balikan hati, tetapkanlah hatiku diatas agama-Mu" Melalui blog ini, seorang muslimah mencoba berbagi dengan harapan dapat sedikit ikut membantu menyebarkan Dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Lihat profil lengkapku

Followers

Blog Archive

Widget-1 title


ShoutMix chat widget

Widget-3 title

Asy-Syaikh Al Fauzan hafizhahullooh ketika menjawab pertanyaan, apakah ada perbedaan antara aqidah & manhaj? Manhaj lebih penting daripada aqidah, karena manhaj mencakup aqidah, perilaku, akhlaq, muammalah dan semua sisi kehidupan seorang muslim. Setiap saat yang seorang muslim berjalan di atasnya dinamakan manhaj. Ada pun aqidah maka yg dimaksud adalah dasar iman, makna syahadatain dan semua konsekwensinya, ini lah yg dimaksud dengan aqidah. (Al Ajwibah Al Mufidah hal. 123)

Recent Posts